Generasi Penerus Ayah
Pada suatu
hari Ayah menghilang,padahal sampai sekitar jam 21:10,ketika aku dipaksa ibuk
untuk tidur dan diantar buatpamit tidur,aku masih melihatnya mengetik
kerjaannya di ruangan Ayah. “yaaa,tidur dulu aja ya luna,” kata Ayah dengan
suara sangat lembut, “ agar segar disekolah besok”… Aku tersenyum pahit karena
aku tidur bukan karena kemauan aku sendiri,karena dirumah ada aturan yang
dibuat dengan kesepakatan bersama dan sesuai dengan kedisiplinan rumah, tanpa
ada toleransi lagi--- ketika keesokan paginya,akhirnya aku bisa bangun pagi dan
segarnya badan karena tidur sesuai dengan aturan,dan aku yang baru kelas VII
itu tak boleh menonton TV lebih dari jam 20:30.
Aku
gelisah di sisi ibu yang juga gelisah. Kami bangun terlambat pada suatu hari.
Dan pada pagi hari, ketika sebelum berangkat sekolah itu aku diperintah Ibu
mengajak Ayah sarapan dan terutama pamit -- dengan rincian bila masih suntuk
mengetik jangan dipaksa,kalau masih tidur jangan dibangunkan--: aku tak
menemukan Ayah di kamar. Komputernya sudah dingin,mungkin karena jendela
terbuka sehingga udara segar memenuhi kamar. Tak ada bekas kegiatan mengetik
semalam. Aku pun balik ke ruang tengah, dan bilang Ayah tidak ada di kamar. Ibu
tak menghiraukan dan tetap menyuruhku makan. Aku makan sambil memikirkan kemana
ayah perginya,kenapa diseluruh ruangan tempat biasa ayah berada sekarang jadi
tidak ada,aku semakin khawatir jika ayah kenapa-kenapa. Setelah aku selesai
makan aku mencoba menanyakan kembali kepada ibu kemana ayah perginya, tetapi
ibu pun masih tak peduli akan hal itu.
Ibu gegas
berkemas. Mandi, dandan, kemudian kami berangkat bersama. Aku ke sekolah, Ibu
ke kantor. Setengah hari aku meninggalkan rumah sangat sederhana itu, dengan
keadaan ruang tamu yang bersatu dengan dapur, bersebelahan dengan dua kamar
tidur yang satunya jadi kamar kerja Ayah, dan di perbatasan belakang ada kamar
mandi dan ruang jemur pakaian. Karena itu, tidak mungkin Ayah menyelinap keluar
lewat belakang atau samping yang semuanya rapat dengan rumah tetangganya. Ayah
pasti pergi dengan sepengetahuan Ibu piker aku. Lagipula Ayah selalu shalat di
rumah.“Ayahkemana, Bu?” tanyaku, Ibuku terdiam dan terbungkam setelah mendengar
pertanyaanku seperti itu. Wajahnya dingin. Karena itu aku yakin pasti Ibu
mengerti kemana Ayah pergi, meski tidak tau kapan dan bagaimana Ayah perginya.
Dahulunya
Ayah dan Ibu sudah tak lancar komunikasi,karena selalu ada pertentangan antar
keduanya,tapi hal itu tidak begitu terlihat karena Ayah sifatnya pendiam dan
tidak banyak omong, sedangkan Ibu amat banyak sangat omongnya. Bahkan selama
dua tahun terakhir ini Ibu menjadi semakin sering mengeluh, mengomel, dan amat
gampang marah karena tersinggung oleh kalimat yang diucapkan dan tindakan yang
dilakukan Ayah yang hanya hal sepele, tetapi Ibu sudah membesar besar kan hal
itu dan marah marah kepada Ayah. Otomatis reaksi Ibu saat itu membuat Ayah
makin jarang bicara. Jadi semakin tekun Ayah membaca dan menulis. Mengurung
diri di kamar kerja dan bahkan tidur bersandar di kursi sambil menselonjorkan
kakinya ke kolong meja computer, atau bergelung di lantai tanpa alas. Itu hal
yang menjadi kebiasaan Ayah.
Ibu
selalu tergesa gesa mengantar aku ke sekolah,karena Ibu juga harus berangkat ke
kantor. Siangnya Ayah menjemput dengan berjalan kaki, seperti ketika masih TK
aku dahulu,karena rumah tidak begitu jauh,terkadang aku juga diajak dahulu ke
kantor pos naik angkot untuk mencairkan kartu wesel. Dan sehabis itu aku
dibelikan es krim, atau CD kartun kesukaan aku. Sampai sekarang tradisi itu
masih berlaku, saat gaji Ayah sudah tidak di kirim lagi lewat pos tetapi via
transfer bank, aku lebih sering di ajak langsung makan siang di luar, karena
Ayah sering belum sarapan. Tapi kini pun sudah jarang dilakukan karena aku
lebih sering pulang bersama teman teman aku, sekaligus lebih enak pulang
langsung ke rumah, lan tas beli makan atau gado-gado, atau hanya memasak mi
instan.
Asalkan
tidak keluyuran bersama teman-teman aku diperbolehkan, dengan catatan jam 17.00
sudah harus di rumah sebelum Ibu pulang dari kantor, aku selalu dipaksa Ayah
agar membaca dan selalu membaca. Memang diperbolehkan menonton TV, tapi
sebenarnya Ayah sangat menginginkan supaya aku selalu membaca dan tidak lupa
istirahat juga yang teratur. Membaca habis semua buku di rak perpusatakaan
pribadi Ayah yang ada di kamarnya. Aku terkadang protes karena harus selalu
membaca, tetapi Ayah hanya tersenyum saja. Lalu ayah mengeluarkan suatu buku
tebal bersampul kulit, yang disimpa disuatu tempat tersembunyi yang hanya aku
dan Ayah yang mengetahuinya, buku itu berjudul Menuju Akhir Keberadaan,..
Sebuah Upaya Menyatu Dengan Allah.
“Kamu
harus membaca buku ini. Cepat atau lambat, tergantung kemauan dan keinginanmu
sendiri, kamu harus membaca ini. Tapi untuk itu, sebelum kamu membaca buku ini
kamu harus sudah membaca semua buku yang ada di perpustakaan ini, bahkan di
perpustakaan di seluruh dunia meski buku semua yang ada di dunia hanya
merupakan serpihan dari buku ini. Sekaligus kamu tak akan bisa memahami makna
buku ini meski membacanya berulangkali tanpa bekal pengetahuan dari semua buku yang
bukan buku ini. Itu jenjang sebelum tiba di dalam yang utama, tiba pada
pemahaman menyeluruh.” Kata Ayah. Aku mendengarkan semua perkataan Ayah,dan aku
sedikit bingung dengan semua perkataan Ayah tadi,tetapi aku tetap tersenyum
seolah-olah aku mengerti apa yang dibicarakan Ayah. Aku meminta Ayah untuk
menuliskan kembali perkataan Ayah tadi, lalu Ayah menulis dan sambil tersenyum
lebar. Akhirnya aku menyimpan tulisan Ayah.
Ayah
bilang bahwa semua buku itu hanya alat untuk berlatih membaca sebelum
berkontsentrasi membaca buku itu. Ayah juga bilang bahwa di dunia ini tidak ada
buku yang terlalu sulit untuk dipahami karena semua buku ditulis oleh pengarang
yang berpengetahuan dan berilmu, yang pengetahuan dan ilmunya itu berasal dari
buku-buku lain. “Bacalah buku dari segala buku…,” kata pengarang.
Satu
persatu buku mulai aku baca, meski aku tidak mengerti maknanya,aku selalu
menghafalnya,dan suatu saat aku bertanya kepada Ayah. Di titik ini aku terpaksa
mengikuti apa perintah Ayah, bacalah buku ini dan ketika selesai membacanya
baca lagi dari awal. Baca semuanya dan baca lagi dari awal. Saat itu aku baru
berumur 11 tahun, tapi aku sudah mulai keseringan membaca karena dipaksa. Aku
sudah mulai membaca sejak TK. Ketika telah lancar baca buku, aku dilatih untuk
membaca secara cepat. “Nanti ada masanya kamu harus mengerti apa yang
dibaca, sehingga mempunyai wawasan lebih lengkap tentang apa yang dituliskan si
pengarang.” Kata Ayah.
Aku tidak
mengerti, tapi aku terus mengangguk. Saat itu aku baru masuk kelas X, dan kata
Ayah aku harus sudah siap memberi pandangan kritis terhadap buku-buku yang
telah aku baca, kemudian menyimpulkan isi-isinya secara proposional, Ayah
sedikit demi sedikit mengajariku sejak kecil, sampai aku beranjak remaja, aku
lebih cepat memahami semua yang diajarkan Ayah. Empat bulan kemudian Ayah
berbisik padaku secara rahasia dan sungguh-sungguh pembicaraannya. “Hanya
Engkau satu-satunya harapan Ayah, yang nanti akan menjadi pengganti Ayah di
sini.” Aku terkejut mendengar hal itu. Apa Ayah akan pergi ? Mengapa Ayah harus
pergi ? aku bertanya kepada Ayah dengan penuh penasaran, tetapi Ayah hanya
tersenyum sambil lembut menggelengkan kepalanya, seakan-akan itu semua akan
pasti terjadi entah itu kapan. Apa di pagi hari ketika Ayah menghilang dari
rumah ? Di hari dimana aku seperti disadarkan ketika Ayah memilih menghilang,
maka aku harus menjadi sosok pengganti Ayah di rumah? Untuk apa? Selama berapa
lama dan dalam berproses menjadi apa? Aku mengalami penuh kebingungan atas semua
yang telah terjadi. Akhirnya aku tiba di sekolah dan aku bercanda gurau dengan
teman-teman seperti biasanya, seolah-olah itu semua tidak terjadi, tetapi aku
melakukan itu semua karena aku tidak mau mencampurkan antara urusan rumah
dengan sekolah.
Ayah
menghilang,setelah sepulang sekolah aku segera pulang langsung ke rumah, tetapi
aku tetap tidak menemukan Ayah di rumah, Koran juga masih di luar, dan beberapa
paket buku majalah menumpuk. Aku berusaha menghubungi Ayah tetapi HPnya mati.
Setelah beberapa hari, Ayah juga tak pulang-pulang ke rumah dan tidak mungkin
untuk ditunggu, setiap pulang sekolah aku mencari Ayah kemana-mana dan
dimana-mana dan aku harus sudah di rumah jam 17.00 sebelum Ibu pulang dari
kantor. Saat itu semua usaha aku sia-sia,karena aku juga tidak menemukan Ayah,
aku yakin Ibu pasti tau kenapa Ayah pergi dan tidak pulang lagi. Aku mulai
merewel menayakan kemana Ayah pergi, Ayah pamit atau tidak kepada Ibu, dan akan
berapa lama?.
Ibu terbungkam, karena aku terus mempertanyakan
dimana dan kemana Ayah dan aku yakin bahwa Ibu tau apa penyebab Ayah
menghilang. Sekarang sepulang sekolah kunci rumah tetap berada di tempat yang
hanya diketahui oleh keluargaku saja. Aku mencoba meniru sosok Ayah,duduk di
meja tulis, membuka computer dan bermain game serta sesekali menengok ke
jalanan dari jendela rumah. Bahkan aku mulai serius membaca Koran yang biasa di
baca Ayah pagi hari. Setelah aku sering meniru semua aktifitas Ayah terutama
dalam hal rubric opini dan olahraga. Aku membaca semua buku serta majalah yang
datang lewat paket, waktu kelas VIII aku mulai membaca semua buku yang belum
aku baca yang ada di perpustakaan pribadi Ayah. Aku membaca
cerpen,novel,puisi,bahkan terkadang sejarah meski hanya sedikit.
Sejak saat itu aku tak ingin banyak
omong dan banyak keluar dari rumah. Aku menghabiskan waktu aku di kamar setelah
pulang sekolah untuk membaca dan mengetik. Sudah 1 tahun aku menjalani itu
semua dan akhirnya aku masuk kelas IX dan mau ujian,orang-orang bilang aku
menjadi aneh karena aku yang “dulunya aku sering bermain dan sekarang hanya
menghabiskan waktu dengan membaca-membaca dan membaca” kata guruku. Aku selalu
membawa 1 buku ke sekolahan untuk aku baca di sekolahan. Hanya ada beberapa
tingkah Ayah yang tidak mungkin aku tiru, salah satunya yaitu pergi ke luar
kota karena itu hal yang tidak mungkin dilakukan oleh anak remaja. Aku sering
tersenyum kepada semua teman dan orang disekitarku dan aku bersikap ramah
kepada mereka dan aku berbicara tidak begitu keras meniru gaya Ayah berbicara
“Buku itu tak mengenal usia dan jenis kelamin, bacalah sehingga kau mengetahui
isinya meski kau mengerti dan tak mengerti maknanya, bila tidak mengerti makna
dari satu buku, bacalah buku lain untuk mencari makna dari buku sebelumnya dan
bisa juga dipertanyakan kepada orang yang ahli.” Guru aku terdiam dan tidak
mengerti atas ucapan aku itu, karena aku hanya meniru omongan Ayah, aku pun
juga tidak mengerti makna sebenarnya.
Aku lulus dari SMP dengan nilai yang cukup bagus,
dan sebenernya aku didaftarkan di sekolah kota, tetapi aku memilih tetap
mencari sekolahan yang setara dengan sekolah lainnya yang cukup bagus yang ada
di dekat rumah, aku tetap pergi ke sekolah dengan membawa buku yang ada di
perpustakaan Ayah dan memanfaatkan waktu jam kosong untuk membacanya, aku telah
membaca semua buku yang ada di perpustakaan sekolahan,dalam 1 semester aku
sudah membaca semua buku yang ada di perpustakaan, aku hanya membaca sebuah
cerita-cerita, aku tidak membaca buku pelajaran yang ada di perpustakaan
sekolah. Guru-guru pun juga tidak marah ketika aku melihat buku apa yang di
bawa dan dibaca, setelah koleksi buku di perpustakaan sekolah habis aku baca.
Para gurupun juga terkadang meminjamkan bukunya dan boleh aku bawa pulang. Para
guru menyuruh aku mengikuti lomba resensi buku di Dinas Perpustakaan Kota,
Alhamdulillah aku mendapatkan juara 1, tiga tahun berturut-turut. Aku juga
disuruh mengikuti lomba mengarang cerpen di tingkat Kota dan jadi juara 1,
sehingga aku mewakili kota untuk lomba tingkat Provinsi. Aku juara 1,dan lanjut
tingkat nasional,dan aku juga mendapat juara 1 dan di tahun berikutnya aku
mendapat juara 1 lagi di tingkat Nasional dalam lomba Puisi.
Lulus SMA aku ditarik di suatu universitas
terbaik dengan beasiswa karena kemampuan mengarangku. Aku dipromosikan ikut
lomba mengarang dan dapat juara Nasional di tahun pertama aku masuk kuliah
pertama puisi, kemudian cerpen. Aku juga menulis 17 novel remaja selama 3
tahun, dan sepuluh darinya terbit dengan yang 7 dicetak ulang tiga kali, dan
diantara 3 novel aku sudah dibuat scenario film. Dari hasil mengarang aku tadi,
aku bisa menabung lumayan meski dipegang Ibu, aku berusaha menjadi seperti
Ayah, dengan mulai melakukan olah kreatif seperti yang dilakukan Ayah yaitu
menulis karya fiksi serius. Selain resensi yang banyak diterbitkan di Koran dan
aku juga mulai menulis esei serius serta bersungguh-sungguh menulis kritik.
Sejak saat itu aku mulai suka mengetik dan aku memperbanyak
membuat karya-karya, aku berusaha keras agar aku bisa menjadi seperti Ayah. Ibu
tidak mengetahui akan hal yang aku lakukan itu semua. Aku terus membuat dan
terkadang aku memposting karya aku di internet supaya karya aku tidak dibaca
dengan buku saja, tetapi juga melalui internet. Aku selalu membuat karya-karya
ketika aku mempunyai waktu luang,dan aku pun sering diajak oleh teman-teman
bersenang-senang diluar, tetapi aku tidak mau, aku lebih memilih untuk
melanjutkan menulis karya-karya baru.
Karena hal itu, aku membuat Ibu mengerutkan kening.
“Jangan terlalu serius..” katanya. Aku meniru Ayah yaitu dengan cara, hanya
tersenyum dan sama sekali tak menjawab. Untuk apa meributkan hal yang tidak
dimengerti ibu, padahal itu terasa cocok nuraniku hingga harus menjalani sebagai
sastrawan seperti Ayah. Aku terobsesi menerbitkan kumpulan puisi sebagus tiga
buku kumpulan puisi punya Ayah. Tapi Ibu tak menyukai pilihan itu. “Itu bagus,
membuat namamu terukir dalam sejarah, api kamu tidak hidup untuk membuat
prasasti. Kamu harus hidup sejahtera, leluasa mencukupi kebutuhan anak dan
istrimu nanti. Pikikan masa depan, bukan Cuma memuaskan ego pribadimu saja,”
kata Ibu. Aku hanya terdiam saja.
Setelah beberapa jam berlalu, aku
tiba-tiba rindu Ayah, aku merindukan semua tindak-tanduk Ayah selama ini
terbayang. Di titik itu, aku yakin, saat itu Ibu ingin menambahkan kalimatnya
dengan ilustrasi: Jalan hidup Ayah serta konsekuensinya bagi kehidupan kami.
Aku mulai mengerti landasan pikir Ibu sekaligus aku sangat paham akan apa yang
diinginkan Ayah, dan aku sangat mengerti betapa sulitnya Ayah berjuang
menegakkan cita-cita di tengah omelan Ibu. Aku sampai sekarang hidup bersama
mereka di dalam rumah tangga yang penuh omelan Ibu. Aku paham kepribadian
Ayah,semua tingkah Ayah, semua sifat Ayah, dan apa yang Ayah lakukan selama
ini, aku mulai memahaminya. Ayah menulis dengan sangat kreatifnya, tapi berapa
uang yang bisa dihasilkan oleh sastrawan?
Tapi aku akan meniru Ayah: total bersuastra.
Meski aku harus bungkan total seperti Ayah dan tak protes. Kini aku mulai
meraba apa yang terjadi di saat itu, karena itu Ibu(sesungguhnya), tahu kenapa
Ayah pergi, mengerti apa alasan Ayah pergi setelah sepuluh terakhir itu, Ayah
selalu dipenuhi omelan oleh Ibu. Dan kini aku meniru meski tak sepandai Ayah
tersenyum. Paham,itu bukan suatu kelemahan, tapi ekspresi ironistiksi yang
telah melihat segala hal secara jernih dan proposional, ketika urusan dunia
tidak mengganggu pengetahuan yang mengatasi benda-benda. Rasanya, saat itu,
Ayah telah ada dalam alam spiritualistic metafisik, karenanya tak terganggu
omelan,makian,dan pujian duniawi,rasanya Ayah sudah masuk dalam dunia sastra
yang tidak diketahui oleh orang awam.
Ayah ada dalam tiada, karenanya tak terganggu
fatamorgana keberadaan benda-benda dunia dan aku telah menemukan perkara
rahasia itu dalam buku rahasia yang jadi bacaan rahasiaku. Tapi kenapa Ayah
menghilang? Apa itu cara untuk membebaskan diri dari beban tuntutan yang
berlebihan, godaan buat mengekspresikan sayang yang berbesaran hal-hal duniawi,
dan seterusnya. Aku belum tahu. Dan aku belum yakin akan hal itu, bila bisa
berperilaku seperti yang dilakukan Ayah, dalam himpitan rumah tangga yang
orientasi serta ukurannya ditata oleh Ibu, amat berbesaran hal duniawi itu dan
dengan tidak tergoda, maka aku akan jadi seperti Ayah.
Di titik aku selalu berpikir: akan sampai satu
momen dan setelah total senantiasa berzikir ketika mengetik,membisu,serta
melakukan apa pun pada setiap hela nafas, oleh karena itu aku akan diberkahi
dengan kehadiran gerbang dan jalan untuk memasuki dunia spiritualistic
metafisik(dunia sastra). Bahkan diserap ke titik penyatuan total. Dan dalam
menunggu itu, aku harus maksimal bersikap seperti Ayah agar total jadi seperti
Ayah, agar tanpa beban menghilang dari rumah dan dunia, setelah menunaikan
kewajiban bersujud kepada Allah dan menambah tabungan serta hal cipta karya
untuk tambahan pensiunan Ibu nanti, karenanya aku harus sabar. Terus menulis
puisi dan cerpen, dan aku juga mempunyai rencana, yaitu menulis sebiah novel
yang mengajarkan ilmu sejati: rahasia keberadaan sejati sebab aku telah amat
menyadari itu dan total mengaplikasi memasuki alam spiritualistic metafisik
dengan mengabaikan hal duniawi.
Kini aku sudah lebih dekat dengan
kemiripan sifat aku dengan Ayah, menghayati posisi (diri) sedang
dilangkahkannya menuju akhir keberadaan di rumah dan di dunia ini, oleh karena
itu tidak boleh berlebihan mengasihani Ibu yang tidak mengetahui rahasia hidup
sejahtera. Sekuat tenaga menahan diri dari kebanggaan orang terpilih, yang
merasa harus mengabarkan hal itu kepada Ibu? Kesombongan itu adalah tantangan
terakhir yang harus ditundukkan. Terlebih bagaimana cara mengatakannya bila Ibu
itu tak pernah mengerti dan sama sekali tak pernah mencoba memahami landansan
Ayah dan aku? Apa gunanya menjelaskan juga kepada Ibu bila hal yang dijelaskan
tetap dimengerti oleh Ibu.
Pada
mala mini mendadak dunia menjadi sangat sunyi dan tidak ada angin yang
berhembus. Dan kerlip dari binyang di langit mendadak tidak kemilau lagi,
sebelum akhirnya aku tersadar kalau bintang-bintang dan planet yang memantulkan
cahaya bintang-bintang itu sudah tidak bercahaya lagi. Meredup jadi satu titik
yang kabur dalam pertanda dari sisa cahaya terakhir yang masih menuju ke dunia,
ke planet bumi ini. Lalu ada kelipan sebuah cahaya yang semakin lama semakin
mendekat tanpa terasa menyilaukan di mataku. Suatu wujud latar bertangga dan
mirip escalator yang dari gumpalan asap lembab, seperti gumpalan kabut yang tebal,
membentang dari jendela. Aku tersenyum lebar dan aku teringat dengan Ayah, aku
pun harus seperti Ayah. Membereskan ruang kerja Ayah dahulu dan yang sekarang
menjadi tempat menulisku dan aku tidak ingin sekalipun kepingin menengok ke
belakang aku, aku pelan menaiki jendela dan melangkah perlahan ke luar, dan aku
tidak melihat sama sekali tanah, aku melangkahkan kaki aku ke gumpalan asap
yang bertangga itu.
Kemudian angin berhembus setelah aku menaiki
tangga tersebut, dan bintang mulai berkelipan dimana-mana. Aku merasakan
semakin lama semakin tinggi, kemudian aku dibawa ke langit. Dalam
loncatan-loncatan, dan bukan seperti naik mobil yang melaju mulus dan bukan
pula seperti menungganggi kuda. Aku ditarik dan masuk ke pusat semesta Nun ke
sana. Alam para sastrawan. Dan akupun menghilang dari kehidupan nyata dan aku
juga meninggalkan Ibu di rumah. Tapi aku bisa bahagia dengan kehadiran para
sastrawan disekitarku. Tanpa aku sadari, aku telah masuk kea lam sastra
tersebut dan aku juga menemukan Ayah disana. Akhirnya aku bekerjasama dengan
Ayah membuat sastra-sastra baru, karena di alam tersebut dimana sastra
terbuat………
Baca Juga: Kumpulan Cerpen yang Lainnya
0 Komentar untuk Generasi Penerus Ayah